Kamis, 30 Mei 2013

DERMATITIS ATOPIK

TINJAUAN TEORI

2.1. Defenisi Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik adalah suatu dermatitis yang bersifat kronik residif yang dapat terjadi pada bayi, anak dan dewasa dengan riwayat atopi pada penderita atau keluarganya (Dharmadji, 2006).

2.2. Epidemiologi
Dermatitis atopik (DA) merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia dengan prevalensi pada anak-anak 10-20%, dan prevalensi pada orang dewasa 1-3% (Williams et al, 1999 dalam Leung, et al., 2007; Schultz dan Hanifin, 2002 dalam Leung dan Bieber, 2003). Dermatitis atopik lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan ratio kira-kira 1.5:1 (Kuster, et al., 1990 dalam Abramovits, 2005). Dermatitis atopik sering dimulai pada awal masa pertumbuhan (early-onset dermatitis atopic). Empat puluh lima persen kasus dermatitis atopik pada anak pertama kali muncul dalam usia 6 bulan pertama, 60% muncul pada usia satu tahun pertama dan 85% kasus muncul pertama kali sebelum anak berusia 5 tahun. Lebih dari 50% anak-anak yang terkena dermatitis atopik pada 2 tahun pertama tidak memiliki tanda-tanda sensitisasi IgE, tetapi mereka menjadi jauh lebih peka selama masa dermatitis atopik (Illi et al., 2004 dalam Bieber, 2008). Sebagian besar yaitu 70% kasus penderita dermatitis atopik anak, akan mengalami remisi spontan sebelum dewasa. Namun penyakit ini juga dapat terjadi pada saat dewasa ( late onset dermatitis atopic ), dan pasien ini dalam jumlah yang besar tidak ada tanda-tanda sensitisasi yang dimediasi oleh IgE (Novak dan Bieber, 2003 dalam Bieber, 2008).
Menurut International Study of Asthma and Allergies in Children, prevalensi penderita dermatitis atopik pada anak bervariasi di berbagai negara. Prevalensi dermatitis atopik pada anak di Iran dan China kurang lebih sebanyak 2%, di Australia, England dan Scandinavia sebesar 20%. Prevalensi yang tinggi juga didapatkan di Negara Amerika Serikat yaitu sebesar 17,2% (Flohr, et al., dalam Zulkarnain, 2009; Laughter, et al., 2000 dalam Simpson dan Hanifin, 2005).
Penelitian Yuin Chew Chan dkk, di Asia Tenggara didapatkan prevalensi dermatitis atopik pada orang dewasa adalah sebesar kurang lebih 20% (Chan et al., 2006 dalam Zulkarnain, 2009).
Data mengenai penderita dermatitis atopik pada anak di Indonesia belum diketahui secara pasti. Berdasarkan data di Unit Rawat jalan Penyakit Kulit Anak RSU Dr. Soetomo didapatkan jumlah pasien dermatitis atopik mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah pasien dermatitis atopik baru yang berkunjung pada tahun 2006 sebanyak 116 pasien (8,14%) dan pada tahun 2007 sebanyak 148 pasien (11,05%), sedangkan tahun 2008 sebanyak 230 pasien (17,65%) (Zulkarnain, 2009).
Penyebab dari peningkatan prevalensi dermatitis atopik belum sepenuhnya dimengerti. Riwayat keluarga yang positif mempunyai peran yang penting dalam kerentanan terhadap dermatitis atopik, namun faktor genetik saja tidak dapat menjelaskan peningkatan prevalensi yang demikian besar. Dari hasil observasi yang dilakukan pada negara-negara yang memiliki ethnis grup yang sama didapatkan bahwa faktor lingkungan berhubungan dengan peningkatan risiko dermatitis atopik (Flohr, et al., 2005 dalam Gondokaryono, 2009; Tay, 2002 dalam Leung, et al., 2007). Prevalensi dermatitis atopik lebih rendah di daerah pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan yang dihubungkan dengan “hygiene hypothesis”, yang mendalilkan bahwa ketiadaan pemaparan terhadap agen infeksi pada masa anak-anak yang dini meningkatkan kerentanan terhadap penyakit alergi (Williams dan Flohr, 2006 dalam Bieber, 2008; Zutavern, et al., 2005 dalam Bieber, 2008).
Beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan prevalensi dermatitis atopik yaitu pada daerah kota dengan peningkatan pemaparan stimulus dari lingkungan industri yang berbahaya, sosial ekonomi yang tinggi, jumlah anak yang sedikit, migrasi dari pedesaan ke perkotaan, infeksi terhadap Staphylococcus
aureus, dan umur ibu yang tua pada saat melahirkan (Larsen dan Hanifin, 2002 dalam Abramovits, 2005; Von, 2000 dalam Abramovits, 2005; Jones, 2002 dalam Abramovits, 2005; Eichenfield, et al., 2003 dalam Leung, et al., 2007).

2.3. Etiologi dan Patogenesis Dermatitis Atopik
Faktor endogen yang berperan, meliputi faktor genetik, hipersensitivitas akibat peningkatan kadar immunoglobulin (Ig)E total dan spesifik, kondisi kulit yang relatif kering (disfungsi sawar kulit), dan gangguan psikis. Faktor eksogen pada DA, antara lain adalah trauma fisik-kimia-panas, bahan iritan, allergen debu, tungau debu rumah, makanan (susu sapi, telur), infeksi mikroba, perubahan iklim (peningkatan suhu dan kelembaban), serta hygiene lingkungan. Faktor endogen lebih berperan sebagai faktor predisposisi sedangkan faktor eksogen cenderung menjadi faktor pencetus (Boediardja, 2006).

2.3.1. Faktor Endogen
a. Sawar kulit
Penderita DA pada umumnya memiliki kulit yang relatif kering baik di daerah lesi maupun non lesi, dengan mekanisme yang kompleks dan terkait erat dengan kerusakan sawar kulit. Hilangnya ceramide di kulit, yang berfungsi sebagai molekul utama pengikat air di ruang ekstraselular stratum korneum, dianggap sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi pH kulit dapat menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar kulit mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss (TEWL) 2-5 kali normal, kulit akan makin kering dan merupakan port d’entry untuk terjadinya penetrasi allergen, iritasi, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien dermatitis atopik mensekresi ceramidase yang menyebabkan metabolisme ceramide menjadi sphingosine dan asam lemak, selanjutnya semakin mengurangi ceramide di stratum korneum, sehingga menyebabkan kulit makin kering (Soebaryo, 2009). Selain itu, faktor luar (eksogen) yang dapat memperberat keringnya kulit adalah suhu panas, kelembaban yang tinggi, serta keringat berlebih. Demikian pula penggunaan sabun yang bersifat lebih alkalis dapat mengakibatkan gangguan sawar kulit. Gangguan sawar kulit tersebut meningkatkan rasa gatal, terjadilah garukan berulang (siklus gatal-garuk-gatal) yang menyebabkan kerusakan sawar kulit. Dengan demikian penetrasi alergen, iritasi, dan infeksi menjadi lebih mudah (Boediardja, 2006).

b. Genetik
Pendapat tentang faktor genetik diperkuat dengan bukti, yaitu terdapat DA dalam keluarga. Jumlah penderita DA di keluarga meningkat 50% apabila salah satu orangtuanya DA, 75% bila kedua orangtuanya menderita DA. Risiko terjadi DA pada kembar monozigot sebesar 77% sedangkan kembar dizigot sebesar 25%. Dari berbagai penelitian terungkap tentang polimorfisme gen dihubungkan dengan DA. Selain itu pada penderita DA atau keluarga sering terdapat riwayat rinitis alergik dan alergi pada saluran napas. Mekanisme imunologik berkaitan erat dengan ekspresi gen penyandi, diantaranya (Boediardja, 2006):
1. Ekspresi human leucocyte antigen (HLA)-DR pada sel Langerhans meningkat berkaitan dengan gen penyandi pada kromosom 6p21.3.
2. Aktivasi sel T oleh sel penyaji antigen atau antigen presenting cells (APC) atau sel Langerhans dengan ekspresi kuat reseptor IgE (FcεRI). Selain itu ditemukan peningkatan jumlah IgE (100-1000 kali lipat) pada sel Langerhans di epidermis lesi DA yang sangat efisien untuk mempresentasikan alergen tungau debu rumah ke sel T.
3. Secara konsisten terdapat peningkatan sintesis IgE spesifik terhadap banyak alergen. Hal tersebut berkaitan dengan kromosom 5q gen penyandi IgE terangkai dengan penyandi interleukin (IL)-4
4. Peningkatan activated cutaneous lymphocyte antigen (CLA) dan sel T, serta jumlah IL-4 dan IL-13 produksi sel Th2, yang secara genetik menunjukkan adanya polimorfisme. Terdapat asosiasi genotip antara gen pengkode sel T dengan gen pengkode IL-4 pada DA. Peningkatan kadar IL-4 dan IL-13 berperan penting pada induksi produksi IgE.
5. Peningkatan sekresi IL-4 dan IL-13 produksi sel Th2 sesuai penemuan para peneliti imunogenetik, yaitu adanya polimorfisme :
Gen pada 5q3.33 merupakan gen penyandi IL-5, IL-9, IL-10, IL-13.
- Gen pada 5q31-33 merupakan gen penyandi IL-4, IL-5, IL-13 dan granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) produksi sel Th2.
- Ditemukan peningkatan IL-6 (dihasilkan sel keratinosit), selain sitokin lain yang sudah ditemukan sebelumnya, yaitu IL-4, IL-8, IL-10, IL-12, GM-CSF dan regulated on activation normal T-cell expressed and secreted (RANTES).
6. Terdapat penurunan kadar interferon (IFN)γ produksi sel Th1 pada DA :
- IFN-γ memediasi reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan menghambat produksi IgE.
- Pada DA kronik didominasi peningkatan IFN-γ bersama-sama dengan peningkatan IL-12.
7. Eosinofil pada lesi DA fase akut :
- Terdapat peningkatan kadar sitokin yang dihasilkan sel T helper (ThCD4+), yaitu : IL-4, IL-5, dan IL-13. Sitokin tersebut yang sangat berperan penting sebagai induksi molekul adhesi (E selectin) sel endotel pada inflamasi dan reaksi alergik, sehingga mampu menarik eosinofil dan sel inflamasi lainnya.
- IL-5 berfungsi memacu perkembangan, aktivitasi, kemotaksis dan kelangsungan hidup sel eosinofil dalam menghasilkan granul protein sitotoksik, major basic protein (MBP) pada lesi DA.
8. Ditemukan gen yang berkaitan dengan reseptor, yaitu gen 14q12 penyandi reseptor α sel T (TCRα) dan gen 11q13 penyandi reseptor subunit reseptor subunit β IgE (FcεRIβ).
9. Bukti polimorfisme lainnya, antara lain adalah polimorfisme keterikatan DA dan asma pada gen reseptor di 11q12-13. Pada DA terdapat keterikatan gen di kromosom 3q21 (penyandi CD80 dan CD86). Keterikatan antara kromosom 1q21 dan 17q21, kedua lokus tersebut berdekatan dengan lokus gen penyandi psoriasis (1q21 dan 17q25).

c. Hipersensitivitas
Berbagai hasil penelitian terdahulu membuktikan adanya peningkatan kadar IgE dalam serum dan IgE di permukaan sel Langerhans epidermis. Data statistik menunjukkan peningkatan IgE pada 85% pasien DA dan proliferasi sel mast. Pada fase akut terjadi peningkatan IL-4, IL-5, IL-13 yang diproduksi sel Th2, baik di kulit maupun dalam sirkulasi, penurunan IFN-γ, dan peningkatan IL-4. Produksi IFN-γ juga dihambat oleh prostaglandin (PG) E2 mengaktivasi Th1, sehingga terjadi peningkatan produksi IFN-γ, sedangkan IL-5 dan IL-13 tetap tinggi. Pasien DA bereaksi positif terhadap berbagai alergen, misalnya terhadap alergen makanan 40-96% DA bereaksi positif (pada food challenge test) (Boediardja, 2006).

d. Faktor psikis
Berdasarkan laporan orangtua, antara 22-80% penderita DA menyatakan lesi DA bertambah buruk akibat stress emosi (Boediardja, 2006).

2.3.2. Faktor eksogen
a. Iritan
Kulit penderita DA ternyata lebih rentan terhadap bahan iritan, antara lain sabun alkalis, bahan kimia yang terkandung pada berbagai obat gosok untuk bayi dan anak, sinar matahari, dan pakaian wol (Boediardja, 2006).
b. Alergen
Penderita DA mudah mengalami alergi terutama terhadap beberapa alergen, antara lain:
1. Alergen hirup, yaitu debu rumah dan tungau debu rumah. Hal tersebut dibuktikan dengan peningkatan   kadar IgE RAST (IgE spesifik) (Boediardja, 2006).
2. Alergen makanan, khususnya pada bayi dan anak usia kurang dari 1 tahun (mungkin karena sawar usus belum bekerja sempurna). Konfirmasi alergi
dibuktikan dengan uji kulit soft allergen fast test (SAFT) atau double blind placebo food challenge test (DBPFCT) (Boediardja, 2006).
3. Infeksi: Infeksi Staphylococcus aureus ditemukan pada > 90% lesi DA dan hanya pada 5% populasi normal. Hal tersebut mempengaruhi derajat keparahan dermatitis atopik, pada kulit yang mengalami inflamasi ditemukan 107 unit koloni setiap sentimeter persegi. Salah satu cara S.aureus menyebabkan eksaserbasi atau mempertahankan inflamasi ialah dengan mensekresi sejumlah toksin (Staphylococcal enterotoin A,B,C,D - SEA-SEB-SEC-SED) yang berperan sebagai superantigen, menyebabkan rangsangan pada sel T dan makrofag. Superantigen S.aureus yang disekresi permukaan kulit dapat berpenetrasi di daerah inflamasi Langerhans untuk memproduksi IL-1, TNF dan IL-12. Semua mekanisme tersebut meningkatkan inflamasi pada DA dengan kemungkinan peningkatan kolonisasi S.aureus. Demikian pula jenis toksin atau protein S.aureus yang lain dapat mengindusi inflamasi kulit melalui sekresi TNF-α oleh keratinosit atau efek sitotoksik langsung pada keratinosit (Soebaryo, 2009).
c. Lingkungan
Faktor lingkungan yang kurang bersih berpengaruh pada kekambuhan DA, misalnya asap rokok, polusi udara (nitrogen dioksida, sufur dioksida), walaupun secara pasti belum terbukti. Suhu yang panas, kelembaban, dan keringat yang banyak akan memicu rasa gatal dan kekambuhan DA. Di negara 4 musim, musim dingin memperberat lesi DA, mungkin karena penggunaan heater (pemanas ruangan). Pada beberapa kasus DA terjadi eksaserbasi akibat reaksi fotosensitivitas terhadap sinar UVA dan UVB (Boediardja, 2006).

2.4. Imunopatogenesis Dermatitis Atopik
a. Imunitas bawaan (innate)
Sistem imunitas innate (bawaan) dapat segera bereaksi terhadap berbagai macam kolonisasi mikroba atau alergen atau iritan, serta berperan terhadap awitan mekanisme imunitas adaptive (didapat). Sel epitel kulit yang merupakan sel yang
membatasi tubuh dengan lingkungan merupakan mekanisme pertahanan pertama pada sistem imunitas innate. Sel tersebut dilengkapi dengan sarana untuk pengenalan, disebut sebagai reseptor pattern recognition (PRR), misalnya reseptor toll-like (TLR). Dikenal lebih dari 10 macam pada manusia, dapat berikatan secara spesifik dengan dinding sel bakteri, jamur atau DNA-RNA virus. TLR dapat berikatan dengan berbagai struktur mikroba karena adanya molekul permukaan pathogen-associated molecular pattern (PAMP). Terikatnya produk mikroba pada permukaan sel epitel akan menyebabkan aktivitas selular dengan mengeluarkan molekul dengan aktivitas antimikroba, disebut sebagai anti-microbial peptide/protein (AMP). Pada DA, AMP jumlahnya kurang sehingga menyebabkan pasien dermatitis atopik mudah terinfeksi herpes (Soebaryo, 2009).

b. Imunitas didapat (acquired)
Peran sel T dan konsep Th1/Th2 merupakan hal penting pada dermatitis atopik. Ketidakseimbangan Th2 sistemik disertai eosinofilia diterima sebagai patogenesis atopik. Sitokin yang diproduksi sel Th2, misalnya IL-4, IL-5 dan IL-13 dapat dideteksi pada fase akut penyakit, baik pada lesi kulit maupun non lesi. IL-4 dan IL-13 terkait dengan awitan jaringan inflamasi dan memicu ekspresi molekul adhesi di sel endotel. IL-5 terkait dengan keberadaan eosinofil . Eosinofilia sistemik dan peningkatan eosinophilic cationic protein (ECP) terjadi sesuai dengan aktivitas penyakit dermatitis atopik. Pada dermatitis atopik fase kronik terjadi peningkatan kadar IFN-γ, IL-12, IL-5 dan GM–CSF yang merupakan karakteristik dominasi sel Th1/Th0. Kronisitas dermatitis atopik terkait dengan produksi sitokin oleh sel Th1, yaitu IL-12 dan IL-18, juga IL-11 dan transforming growth factor (TGF)-β1. Dermatitis atopik merupakan penyakit inflamasi bifasik, dimulai dengan fase akut terkait dengan sel Th2, dilanjutkan dengan fase kronik terkait dengan sel Th1 (Soebaryo, 2009).

c. Sel dendritik
Sel dendritik merupakan sel penyaji antigen yang professional dan selanjutnya menyajikannya kepada sel T pada respons imun primer dan sekunder
membatasi tubuh dengan lingkungan merupakan mekanisme pertahanan pertama pada sistem imunitas innate. Sel tersebut dilengkapi dengan sarana untuk pengenalan, disebut sebagai reseptor pattern recognition (PRR), misalnya reseptor toll-like (TLR). Dikenal lebih dari 10 macam pada manusia, dapat berikatan secara spesifik dengan dinding sel bakteri, jamur atau DNA-RNA virus. TLR dapat berikatan dengan berbagai struktur mikroba karena adanya molekul permukaan pathogen-associated molecular pattern (PAMP). Terikatnya produk mikroba pada permukaan sel epitel akan menyebabkan aktivitas selular dengan mengeluarkan molekul dengan aktivitas antimikroba, disebut sebagai anti-microbial peptide/protein (AMP). Pada DA, AMP jumlahnya kurang sehingga menyebabkan pasien dermatitis atopik mudah terinfeksi herpes (Soebaryo, 2009).

b. Imunitas didapat (acquired)
Peran sel T dan konsep Th1/Th2 merupakan hal penting pada dermatitis atopik. Ketidakseimbangan Th2 sistemik disertai eosinofilia diterima sebagai patogenesis atopik. Sitokin yang diproduksi sel Th2, misalnya IL-4, IL-5 dan IL-13 dapat dideteksi pada fase akut penyakit, baik pada lesi kulit maupun non lesi. IL-4 dan IL-13 terkait dengan awitan jaringan inflamasi dan memicu ekspresi molekul adhesi di sel endotel. IL-5 terkait dengan keberadaan eosinofil . Eosinofilia sistemik dan peningkatan eosinophilic cationic protein (ECP) terjadi sesuai dengan aktivitas penyakit dermatitis atopik. Pada dermatitis atopik fase kronik terjadi peningkatan kadar IFN-γ, IL-12, IL-5 dan GM–CSF yang merupakan karakteristik dominasi sel Th1/Th0. Kronisitas dermatitis atopik terkait dengan produksi sitokin oleh sel Th1, yaitu IL-12 dan IL-18, juga IL-11 dan transforming growth factor (TGF)-β1. Dermatitis atopik merupakan penyakit inflamasi bifasik, dimulai dengan fase akut terkait dengan sel Th2, dilanjutkan dengan fase kronik terkait dengan sel Th1 (Soebaryo, 2009).

c. Sel dendritik
Sel dendritik merupakan sel penyaji antigen yang professional dan selanjutnya menyajikannya kepada sel T pada respons imun primer dan sekunder
cyclic adenosine monophosphate (cAMP)-phosphodiesterase (PDE). Hal tersebut mempengaruhi peningkatan sintesis IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel T pada dermatitis atopik (Soebaryo, 2009).

e. Ekspresi sitokin dengan pola bifasik pada lesi Dermatitis Atopik
Pola ekspresi lokal sitokin berperan penting pada terjadinya inflamasi di jaringan setempat. Pada dermatitis atopik pola tersebut bergantung pada umur lesi kulit. Pada inflamasi akut terutama terlihat ekspresi sitokin IL-4 dan IL-13, sedangkan pada lesi kronik terutama terlihat ekspresi IL-5 dan IFN-γ. IL-12 berperan pada perkembangan sel Th1 dan pada lesi kronik ekspresinya pada eosinofil dan makrofag memicu diferensiasi sel T CD4+ ke arah lesi akut dan GM-CSF meningkatkan ketahanan hidup sel eosinofil dan makrofag pada lesi kronik (Soebaryo, 2009).
Peningkatan ekspresi IL-4 dapat diamati 24 jam setelah terpajan alergen, setelah itu akan terjadi penurunan ekspresi tersebut. Sedangkan ekspresi IFN-γ tidak ditemukan dalam 24 jam setelah terpajan alergen, namun terlihat ekspresi berlebihan 48-72 jam setelah terpajan alergen. Hasil tersebut sesuai dengan temuan sel Th2 spesifik pada masa awal reaksi uji tempel, sedangkan pola utama sitokin sel atopi didahului ekspresi puncak IL-12, membuktikan peran IL-12 pada perkembangan respons Th1. Peningkatan ekspresi IL-12 bersamaan dengan infiltrasi makrofag dan eosinofil, sel yang mengekspresikan IL-12. Hal tersebut diatas menggambarkan bahwa fase awal dermatitis atopik dipicu oleh alergen yang mengaktifkan sel Th2, sedangkan pada respons inflamasi kronik didominasi oleh respons sel Th1 yang dipicu pula oleh keberadaan makrofag dan eosinofil yang mengekspresikan IL-12 (Leung dan Soter, 2001 dalam Soebaryo, 2009).
f. Respons sel Th2 terhadap kulit pada Dermatitis Atopik
Rinitis alergik dan asma terjadi pada 80% anak dengan dermatitis atopik dan pada banyak pasien DA terjadi perburukan bila mengalami alergi saluran nafas. Hal tersebut sesuai konsep bahwa ekspresi klinis penyakit alergi ditentukan sebagian oleh sensitisasi alergen di jaringan lokal dan respons imun di kulit dibandingkan dengan mukosa saluran napas. Karena penyakit alergi terkait respons inflamasi yang spesifik pada organ, maka sel T akan bermigrasi ke berbagai jaringan. Sel T yang bermigrasi tersebut, disebut sebagai sel T-homing, terutama diatur oleh interaksi antara reseptor sel T-homing dengan antigen permukaan sel endotel vaskular yang pada manusia disebut cutaneous lymphocyte-associated antigen (CLA) dan pasangan reseptornya yaitu E-selectin (Soebaryo, 2009).
Ekspresi sel T yang dipicu oleh CLA diatur oleh berbagai sitokin. Transforming growth factor (TGF)β, IL-12 dan IL-6 meningkatkan ekspresi CLA, tetapi tidak IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-7 dan IFN- γ (Soebaryo, 2009).

g. Peran multifungsi IgE pada inflamasi kulit atopik
IgE berperan pada infiltrat sel inflamasi dermatitis atopik melalui berbagai mekanisme termasuk reaksi bifasik, presentasi alergen oleh sel Langerhans penyandang IgE, aktivasi makrofag penyandang IgE yang dipicu alergen, dan autoreaktivitas IgE terhadap protein manusia (Soebaryo, 2009).
Kelainan klinis reaksi yang dipicu oleh alergen terkait dengan respons bifasik dan bergantung pada IgE. Sel mast penyandang IgE mediator ke jaringan setempat dalam waktu 15-60 menit pasca pajanan. Hal tersebut tergambar setelah pruritus dan eritema akut. Tiga sampai 4 jam kemudian, setelah reaksi akut menghilang akan terjadi reaksi lambat (late phase reaction-LPR). Reaksi ditandai dengan ekspresi molekul adhesi pada endotel kapiler, diikuti infiltrasi eosinofil, neutrofil dan infiltrat mononuklear sekitar 24-48 jam setelah awitan LPR. Infiltrat tersebut menunjukkan peningkatan ekspresi mRNA untuk IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF, sehingga timbul dugaan bahwa infiltrat terdiri atas sel Th2 (Soebaryo, 2009).
Permukaan sel Langerhans dan makrofag yang menginfiltrasi lesi DA menyandang IgE. Terdapat 2 macam reseptor IgE, yaitu reseptor berafinitas tinggi dan yang berafinitas rendah. Reseptor IgE pada sel Langerhans berafinitas tinggi, sedangkan reseptor IgE pada makrofag berafinitas rendah. Sebagian besar pasien
DA mempunyai antibodi IgE yang bersirkulasi terhadap protein manusia. Respons imun IgE diawali oleh alergen lingkungan dan inflamasi dipertahankan oleh alergen endogen manusia tersebut (Soebaryo, 2009).
Pruritus akut pada dermatitis atopik dipicu oleh pelepasan berbagai macam mediator ke kulit setelah terpajan alergen, meski perkembangan lesi eksematosa bergantung pada trauma kulit akibat garukan (Leung dan Soter, 2001 dalam Soebaryo 2009). Akan terjadi proses inflamasi sebagai akibat keratinosit mengeluarkan berbagai sitokin proinflamasi sebagai akibat keratinosit mengeluarkan berbagai sitokin proinflamasi, antara lain IL-1, TNF- γ, IL-4 dan CC kemokin yang mampu mengarahkan limfosit, eosinofil dan makrofag ke tempat terjadinya inflamasi. Pada tahap ini sel residen dan sel yang menginfiltrasi akan mengeluarkan sitokin dan mediator yang akan mempertahan inflamasi. Dermatitis atopik merupakan hasil kombinasi antara berbagai mekanisme selular spesifik maupun nonspesifik yang bertugas memicu dan mempertahankan inflamasi (Soebaryo, 2009).

2.5. Gejala Klinis
Gejala dermatitis atopik dapat bervariasi pada setiap orang. Gejala yang paling umum adalah kulit tampak kering dan gatal. Gatal merupakan gejala yang paling penting pada dermatitis atopik. Garukan atau gosokan sebagai reaksi terhadap rasa gatal menyebabkan iritasi pada kulit, menambah peradangan, dan juga akan meningkatkan rasa gatal. Gatal merupakan masalah utama selama tidur, pada waktu kontrol kesadaran terhadap garukan menjadi hilang. Gambaran kulit atopik bergantung pada parahnya garukan yang dialami dan adanya infeksi sekunder pada kulit. Kulit dapat menjadi merah, bersisik, tebal dan kasar, beruntusan atau terdapat cairan yang keluar dan menjadi keropeng (krusta) dan terinfeksi (Dewi, 2004). Kulit yang merah dan basah (eksim) disebabkan peningkatan peredaran darah di kulit akibat rangsangan alergen, stress, atau bahan pencetus lain. Peningkatan aliran darah diikuti dengan perembesan cairan ke kulit melalui dinding pembuluh darah. Kulit kering dan bersisik membuat kulit lebih sensitif sehingga lebih mudah terangsang. Bila sangat kering kulit akan pecah sehingga menimbulkan rasa nyeri. Penebalan kulit (likenifikasi) terutama di daerah yang sering mengalami garukan, disertai dengan perubahan warna menjadi lebih gelap akibat peningkatan jumlah pigmen kulit. Daerah yang lebih sering mengalami likenifikasi ialah leher bagian belakang, lengan bawah, daerah pusar, di atas tulang kering, dan daerah genital. Dermatitis atopik dapat juga mengenai kulit sekitar mata, kelopak mata dan alis mata. Garukan dan gosokan sekitar mata menyebabkan mata menjadi merah dan bengkak. (Soebaryo,2002 ).
Gejala dermatitis atopik dibedakan menjadi 3 kelompok usia yaitu dermatitis atopik pada masa bayi (0-2 tahun), masa anak (2-12 tahun), dan saat dewasa (>12 tahun). Dermatitis atopik yang terjadi pada masa bayi dan anak mempunyai gejala yang berbeda-beda, baik dalam usia saat mulai timbul gejala maupun derajat beratnya penyakit. Pada masa bayi, umumnya gejala mulai terlihat sekitar usia 6-12 minggu. Pertama kali timbul di pipi dan dagu sebagai bercak-bercak kemerahan, bersisik dan basah. Kulit pun kemudian mudah terinfeksi. Kelainan kulit pada bayi umumnya di kedua pipi sehingga oleh masyarakat sering dianggap akibat terkena air susu ibu ketika disusui ibunya, sehingga dikenal istilah eksim susu. Sebenarnya, pendapat tersebut tidak benar, pipi bayi yang mengalami gangguan bukan akibat terkena air susu ibu. Bahkan bayi yang pada beberapa bulan pertama diberi air susu ibu (ASI) secara ekslusif (hanya ASI saja) akan lebih jarang terkena penyakit ini dibandingkan bayi yang mendapat susu formula (Dewi, 2004). Selain itu, sisik tebal bewarna kuning ‘kerak’ juga sering ditemui pada bayi di kepala (cradle cap), yang dapat meluas ke daerah muka (Soebaryo, 2002).
Bersamaan dengan proses tumbuh kembang bayi, saat bayi lebih banyak bergerak dan mulai merangkak, maka daerah yang terkena dapat meluas ke lengan dan tungkai. Lesi kulit muncul sebagai bintil-bintil merah kecil yang terasa gatal yang dapat bergabung membentuk bercak yang berukuran besar. Pada umumnya lesinya polimorfik cenderung eksudatif, kadang-kadang disertai dengan infeksi sekunder atau pioderma. Bayi dengan dermatitis atopik sering tampak gelisah dan rewel karena rasa gatal dan rasa tak nyaman oleh penyakitnya. Ketika mencapai usia sekitar 18 bulan kulit bayi mulai meperlihatkan tanda-tanda perbaikan. Walaupun demikian bayi tersebut mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk mempunyai kulit yang kering dan dermatitis atopik di kemudian hari (Dewi, 2004; Zulkarnain, 2009).
Pada masa anak, pola distribusi lesi kulit mengalami perubahan. Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian besar merupakan kelanjutan fase bayi. Tempat predileksi cenderung di daerah lipat lutut, lipat siku dan sangat jarang di daerah wajah, selain itu juga dapat mengenai sisi leher (bagian anterior dan lateral), sekitar mulut, pergelangan tangan, pergelangan kaki, dan kedua tangan (Dharmadji, 2006; Dewi, 2004). Distribusi lesi biasanya simetris. Manifestasi dermatitis sub akut dan cenderung kronis. Pada kondisi kronis tampak lesi hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan likenifikasi. Biasanya kelainan kulit dimulai dengan beruntusan yang menjadi keras dan bersisik bila digaruk. Kulit di sekitar bibir dapat juga terkena dan upaya menjilat terus-menerus di daerah tersebut dapat menyebabkan kulit sekitar mulut pecah-pecah dan terasa nyeri, demikian pula bagian sudut lobus telinga sering mengalami fisura. Lesi dermatitis atopik pada anak juga dapat ditemukan di paha dan bokong. Pada sebagian anak penyakit akan menyembuh untuk jangka waktu yang lama. Pada anak usia sekolah sering terjadi ruam kulit di kedua paha atas bagian belakang menyerupai ½ lingkaran tempat duduk (toilet seat eczema). Terdapat bentuk lain yang mengenai kaki, disebut sebagai eksim kaos kaki (sweaty sock dermatitis), menyerupai infeksi jamur tetapi sela jari kaki terbebas dari ruam (Zulkarnain, 2009; Wisesa, 2009; Dewi, 2004). Pada awal masa pubertas oleh karena pengaruh hormon, stress, dan penggunaan produk atau kosmetik perawatan kulit yang bersifat iritasi penyakit dapat timbul kembali (Dewi, 2004).
Sebagian orang yang mengalami dermatitis atopik pada masa anak juga mengalami gejala pada masa dewasanya, namun penyakit ini dapat juga pertama kali timbul pada saat telah dewasa. Gambaran penyakit saat dewasa serupa dengan yang terlihat pada fase akhir anak. Pada umumnya ditemukan adanya penebalan kulit di daerah belakang lutut dan fleksural siku serta tengkuk leher. Akibat adanya garukan secara berulang dan perjalanan penyakit yang kronis, lesi ditandai dengan adanya hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan likenifikasi. Distribusi lesi biasanya simetris. Lokasi lesi menjadi lebih luas, selain fosa kubiti dan poplitea, juga dapat ditemukan bagian lateral leher, tengkuk, badan bagian atas dan dorsum pedis. Namun, dapat pula terbatas hanya pada beberapa bagian tubuh, misalnya hanya tangan atau kaki. Pada fase remaja, area di sekitar puting susu juga dapat terkena (Zulkarnain, 2009).

2.6. Diagnosis
Sampai saat ini belum ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat digunakan untuk memastikan penyakit dermatitis atopik. Pada umumnya diagnosis dibuat dari riwayat adanya penyakit alergi, misalnya eksim, asma dan rinitis alergik, pada keluarga, khususnya kedua orang tuanya. Kemudian dari gejala yang dialami pasien, kadang perlu melihat beberapa kali untuk dapat memastikan dermatitis atopik dan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain serta mempelajari keadaan yang menyebabkan iritasi/alergi kulit. Para ahli penyakit kulit telah membuat beberapa kriteria diagnosis dan saat ini banyak digunakan adalah kriteria yang dikemukakan oleh sarjana Hanifin dan Rajka, yang meliputi kriteria mayor dan kriteria minor (Zulkarnain, 2009; Dewi, 2004).
Kriteria mayor :
- Rasa gatal
- Gambaran dan penyebaran kelainan kulit yang khas (bayi dan anak di muka dan lengan)
- Eksim yang menahun dan kambuhan
- Riwayat penyakit alergi pada keluarga (stigmata atopik)
Kriteria minor :
- Kulit kering
- Luka memanjang sekitar telinga (fisura periaurikular)
- Garis telapak tangan lebih jelas (hiperlinearitas Palmaris)
- Bintil keras di siku, lutut (keratosis pilaris)
- White dermographisme : bila kulit digores tumpul, timbul bengkak bewarna
keputihan di tempat goresan - Garis Dennie Morgan : garis lipatan di bawah mata
- Kemerahan atau kepucatan di wajah
- Kulit pecah/luka di sudut bibir (keilitis)
- Pitiriasis alba : bercak-bercak putih bersisik
- Perjalanan penyakit dipengaruhi emosi dan lingkungan
- Uji kulit positif
- Peningkatan kadar Immunoglobulin E dalam darah
Seseorang dianggap menderita dermatitis atopik bila ditemukan minimal 3 gejala
mayor dan 3 gejala minor.

2.7. Diagnosis Banding
Kelainan kulit dermatitis atopik sering menunjukkan gambaran morfologik yang khas, yang dapat menyerupai dermatitis seboroik, dermatitis kontak, dermatitis numularis, psoriasis, scabies, penyakit Lettere-Siwe, Acrodermatitis enteropathica, Sindroma Wiskot-Aldrich (Zulkarnain, 2009; Leung, et al., 2007).

Rabu, 08 Mei 2013

CONGESTIVEN HEART FAILURE

                                                              Gagal Jantung Kongestif


1.1 Defenisi Gagal Jantung Kongestif
      Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan (Mansjoer, 2001).
Gagal jantung adalah ketidak mampuan jantung untuk mempertahankan curah jantung (Caridiac Output = CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Apabila tekanan pengisian ini meningkat sehingga mengakibatkan edema paru dan bendungan di system vena, maka keadaan ini disebut gagal jantung kongestif (Kabo & Karim, 2002). Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi (Smeltzer & Bare, 2001), Waren & Stead dalam Sodeman, 1991), Renardi, 1992).

1.2 Etiologi Gagal Jantung Kongestif
   Mekanisme yang mendasari terjadinya gagal jantung kongestif meliputi gangguan kemampuan konteraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Tetapi pada gagal jantung dengan masalah yang utama terjadi adalah kerusakan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan. Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap konteraksi tergantung pada tiga faktor: yaitu preload, konteraktilitas, afterload.
• Preload adalah jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut otot jantung.
• Konteraktillitas mengacu pada perubahan kekuatan konteraksi yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium
• Afterload mengacu pada besarnya tekanan venterikel yang harus dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan arteriol.
Pada gagal jantung, jika salah satu atau lebih faktor ini terganggu, maka curah jantung berkurang (Brunner and Suddarth 2002)
.
1.2.1 Gagal Jantung Kiri
Kongestif paru terjadi pada venterikel kiri, karena venterikel kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru. Manifestasi klinis yang dapat terjadi meliputi dispnu, batuk, mudah lelah, denyut jantung cepat (takikardi) dengan bunyi S3, kecemasan dan kegelisahan.

1.2.2 Gagal Jantung Kanan
Bila venterikel kanan gagal memompakan darah, maka yang menonjol adalah kongestif visera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena.
Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema ekstremitas bawah (edema dependen), yang biasanya merupakan pitting edema, pertambahan berat badan, hepatomegali (pembesaran hepar), distensi vena jugularis (vena leher), asites (penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal), anoreksia dan mual, nokturia dan lemah.

1.3 Patofisiologi Gagal Jantung
     Penurunan kontraksi venterikel akan diikuti penurunan curah jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah (TD), dan penurunan volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi neurohurmoral. Vasokonteriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah, sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan kontraksi jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak segera diatasi, peninggian afterload, dan hipertensi disertai dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi. Dengan demikian terapi gagal jantung adalah dengan vasodilator untuk menurunkan afterload venodilator dan diuretik untuk menurunkan preload, sedangkan motorik untuk meningkatkan kontraktilitas miokard (Kabo & Karsim, 2002). Universitas Sumatera Utara

2. Distensi Vena Jugularis
    Bila ventrikel kanan tidak mampu berkompensasi, maka akan terjadi dilatasi venterikel dan peningkatan volume curah jantung pada akhir diastolik dan terjadi peningkatan laju tekanan darah pada atrium kanan. Peningkatan ini sebaliknya memantau aliran darah dari vena kava yang diketahui dengan peningkatan vena jugularis, dengan kata lain apabila terjadi dekompensasi venterikel kanan maka kondisi pasien dapat ditandai adanya edema tungkai kaki dan distensi vena jugularis pada leher.

3. Edema
   Edema merupakan terkumpulnya cairan di dalam jaringan interstisial lebih dari jumlah yang biasa atau di dalam berbagai rongga tubuh mengakibatkan gangguan sirkulasi pertukaran cairan elektrolit antara plasma dan jaringan interstisial. Jika edema mengumpul di dalam rongga maka dinamakan efusi, misalnya efusi pleura dan pericardium. Penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal dinamakan asites. Pada jantung terjadinya edema yang disebabkan terjadinya dekompensasi jantung (pada kasus payah jantung), bendungan bersifat menyeluruh. Hal ini disebabkan oleh kegagalan venterikel jantung untuk memopakan darah dengan baik sehingga darah terkumpul di daerah vena atau kapiler, dan jaringan akan melepaskan cairan ke intestisial (Syarifuddin, 2001).
Edema pada tungkai kaki terjadi karena kegagalan jantung kanan dalam mengosongkan darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena. Edema ini di mulai pada kaki dan tumit (edema dependen) dan secara bertahap bertambah keatas tungkai dan paha dan akhirnya ke genitalia eksterna dan tubuh bagian bawah. Edema sakral jarang terjadi pada pasien yang berbaring lama, karena daerah sakral menjadi daerah yang dependen. Bila terjadinya edema maka kita harus melihat kedalaman edema dengan pitting edema. Pitting edema adalah edema yang akan tetap cekung bahkan setelah penekanan ringan pada ujung jari , baru jelas terlihat setelah terjadinya retensi cairan paling tidak sebanyak 4,5 kg dari berat badan normal selama mengalami edema (Brunner and Suddarth, 2002).
Grading edema
1+: pitting sedikit/ 2mm, menghilang dengan cepat
2+: pitting lebih dalam/ 4mm, menghilang dalam waktu 10-15 dtk
3+: lubang yang dalam/6mm, menghilang dalam waktu 1 mnt
4+: lubang yang sangat mendalam/ 8mm berlangsung 2-5 mnt, ekstremitas dep terlalu terdistruksi

4. Pengaruh posisi elevasi kaki ditinggikan terhadap pengurangan edema
   Pengaruh posisi kaki ditinggikan 30 derajat terhadap pengurangan edema adalah dapat membantu resusitasi jantung sehingga suplai darah keorgan-organ penting seperti paru, hepar, ginjal dapat mengalir secara sempurna.
Tujuan utama dari peninggian posisi ini mencangkup peningkatan suplai darah arteri ke eksteremitas bawah, pengurangan kongesti vena, mengusahakan vasodilatasi pembuluh darah, pencegahan komperesi vaskuler (mencegah dekubitus), pengurangan nyeri, pencapaian atau pemeliharaan integritas kulit.
Tindakan yang digunakan untuk pasien ini untuk mencapai salah satu sasaran evalusasi dalam hal positif terhadap seberapa efektif nya pengaruh posisi terhadap pengurangan edema.

4.1 Intervensi Keperawatan
      Salah satu interverensi terhadap pengurangan edema adalah memperbaiki sirkulasi perifer.
Latihan yang digunakan untuk keefektifan pengurangan edema terhadap pengaruh posisi kaki dengan cara latihan postural aktif, seperti latihan Buerger-Allen perlu dlakukan oleh pasien dengan insufisiensi suplai darah artei ke eksteremitas bawah. Latihan ini meliputi 3 posis yakni: elevasi tungkai kaki, mengantungkan kaki, kemudian tidur dengan posisi horizontal.
Pada pasien dengan insufisiensi vena, meletakkan eksteremitas bawah dalam posisi tergantung hanya akan memperburuk bedungan vena. Tarikan grafitasi akan menghambat aliran balik vena ke jantung dan menghambatkan statis vena (pengumpulan darah dalam vena). Oleh sebab itu pasien dengan insufisiensi vena harus meninggikan kedua tungkainya lebih tinggi dari jantung sebanyak mungkin. Pasien harus menghindari berdiri atau duduk dalam waktu yang lama. Berjalan-jalan dapat membantu aliran balik vena dengan cara mengaktifkan “pompa otot”. Bila pasien dengan insufisiensi vena sedang berbaring, maka bagian kaki tempat tidur harus sedikit ditenggikan.
Peninggian kaki dilakukan selama 5 menit pada pasien yang menglami insufisiensi vena (gagal jantung kanan). Frekuensi latihan yang dilakukan dapat berbeda, namun pasien harus dapat melakukanya minimal enam kali. Nyeri dan perubahan warna yang dramatis menujukan latihan ini harus segera dihentikan dan segera beristirahat. Tanda-tanda lain yang dapat dilihat setelah menjalani latihan ini adalah nyeri, kemerahan, panas dan pengurangan edema. Kebiasaan ini harus dilakukan sebanyak 4 kali/hari atau sebanyak yang bisa dilakukan.
Tidak semua pasien dengan penyakit vaskuler perifer harus melakukan latihan, maka sebelum menganjurkan program latihan, penting untuk berkonsultasi dengan tenaga kesehatan primer. Pasien dengan ulkus tungkai, selulitas, atau okulsi trombosis akut memerlukan tirah baring. Kondisi diatas dapat semakin berat dengan aktivitas (Brunnerand Sudadart, 2002).